Bicara tentang kesendirian, selalu identik dengan kesepian. Bisa jadi dalam kamus aku ingin menyarankan suatu bentuk frase yang biasa terdiri dari "kata X" mengikuti "kata Y". Dengan demikian banyak orang akan lebih mudah menemukan kata yang mereka cari untuk menggambarkan emosi yang melandan mereka. Contohnya seperti yang di bawah ini :
- Kata 'gelap' diikuti dengan kata 'tak bisa melihat' ( kecuali orang tuna netra) diikuti kata 'takut' karena memang kita tidak pernah mengerti apa yang jauh dari indera dan juga nalar kita bukan? Mungkin kecuali untuk satu yang ciptakan kita.
- Kata 'sendiri' diikuti kata 'sepi' karena kita makhluk sosial, tak bisa hidup tanpa orang lain. Walau terkadang buatku sendiri adalah waktu yang tepat tuk berkontemplasi, mengarungi sungai pikiran yang penuh dengan batu-batu sebagai aral rintangan bagi pikiran (yang lagi-lagi buatku) cukup sederhana.
- Kata 'jatuh' diikuti kata 'bangun'. Hei kenapa pula harus ada bangun kalau keadaan sudah enak buat kita? Contoh jatuh dalam kekayaan, atau jatuh dalam kebahagiaan yang analoginya adalah jatuh dalam pelukan seseorang. Apakah jatuh selalu identik dengan negatif? Padahal menurutku lebih cocok kalau kata 'jatuh' identik dengan kata 'penyerahan', yang bisa jadi menyerah dan lelah berjuang terhadap keadaan, atau bahkan sukarela. Dengan jatuh kita menjadi orang yang pasrah dan nrimo (hidup orang jawa!) (hei..saya setengah menado, bung..) dan bangun bisa jadi tidak selalu posititif melainkan tidak pernah puas, kutu loncat, jadikan orang lain stepping stone dan lain-lain.
Duh, bisa jadi bangun siang yang buat pikiranku kayak telur scramble gini..ayway, kata adalah netral, dia hanya tercipta di fikir dan tiap aksara yang berloncatan dari mulut ini selalu bersamaan dengan proses pembentukan frame di dalam fikir. Menyenangkan bukan, apapun yang kita proses dalam fikir ini, bebas dari intervensi siapapun. Thanks God sampai sekarang belum ada razia pikiran di jalan-jalan, walau kapolda kita baru hahaha...
No comments:
Post a Comment